BeritaLintas DaerahNewsSosial

Proyek Rp15 Miliar Kampung Nelayan Merah Putih di Cirebon Diduga Bermasalah: Beton Retak, Mutu Buruk, dan CCO Diduga Melampaui Batas!

27
×

Proyek Rp15 Miliar Kampung Nelayan Merah Putih di Cirebon Diduga Bermasalah: Beton Retak, Mutu Buruk, dan CCO Diduga Melampaui Batas!

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com – Cirebon , Pada Senin, 3 November 2025, pukul 11.30 WIB, Agung Sulistio, Pimpinan Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia (Kabarsbi.com) sekaligus Ketua Umum Gabungan Media Online Cetak Ternama (GMOCT) dan Ketua II DPP Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI), dengan tegas menyoroti dugaan penyimpangan serius dalam Proyek Pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih yang berlokasi di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat.

Proyek dengan nilai kontrak Rp15.087.412.000, bersumber dari APBN, dan memiliki masa pelaksanaan 113 hari kalender, dikerjakan oleh PT Bumi Delta Hatten di bawah pimpinan Tubagus Saeful Rizal selaku Direktur Utama. Proyek ini diawasi oleh CV Raventama sebagai konsultan pengawas, dan berada di bawah program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, di balik besarnya anggaran dan tujuan mulia proyek tersebut, muncul indikasi kuat adanya penyimpangan teknis, pelanggaran kontraktual, dan dugaan penyelewengan wewenang di dalam proses pelaksanaannya.

Menurut hasil pantauan lapangan dan sejumlah laporan teknis, mutu pekerjaan di lokasi proyek jauh dari standar kualitas yang ditetapkan. Beton mengalami retakan dini berbentuk diagonal, material beton tidak homogen, dan diduga mengalami setting time yang menyebabkan turunnya mutu. Tak hanya itu, struktur rigid tidak dilengkapi dengan dowel bar dan wire mesh sebagai pengikat antar bidang beton, padahal kedua komponen tersebut merupakan syarat utama dalam sistem konstruksi rigid pavement.

Uyun Saeful Yunus, SE., MM, aktivis asal Jawa Barat, menilai kondisi tersebut bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk nyata dari pelanggaran teknis dan potensi tindak pidana korupsi. “Pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan dokumen teknis jelas melanggar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta berpotensi mengandung unsur korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001,” tegas Uyun.

Lebih lanjut, Uyun menjelaskan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wajib memaparkan dan menjelaskan dokumen teknis utama sebagai dasar pelaksanaan proyek, antara lain:

1. Detail Engineering Design (DED) jalan beton sebagai acuan teknis pelaksanaan.

2. Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang sesuai dengan angka penawaran lelang agar dana terserap sesuai alokasi.

3. Contract Order (CO) yang disahkan saat pelaksanaan Mutual Check 0 (MC0) sebagai dasar kesepakatan pekerjaan.

4. Change Contract Order (CCO) beserta usulan dan kajian teknis yang disusun oleh kontraktor dan konsultan pengawas serta disetujui secara resmi oleh PPK dinas terkait.

 

Hal tersebut menjadi krusial karena muncul dugaan bahwa PPK bersama konsultan pengawas telah menyetujui CCO yang melampaui batas maksimal 10%, sebagaimana diatur dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Jika benar perubahan tersebut melebihi batas yang diizinkan, maka proyek ini patut diduga mengalami gagal perencanaan (planning failure) dan dapat dikategorikan sebagai proyek gagal (project failure).

Diduga pula, mutu jalan beton yang buruk adalah akibat langsung dari penyelewengan wewenang PPK dalam menyetujui CCO proyek tanpa dasar teknis yang sah. Persetujuan tersebut diduga dilakukan secara tertutup dan tanpa kajian komprehensif bersama konsultan pengawas, sehingga terjadi penurunan kualitas pekerjaan dan inefisiensi penggunaan dana APBN. “Perubahan yang melampaui batas wajar tanpa dasar teknis dan persetujuan yang sah adalah pelanggaran berat terhadap prinsip akuntabilitas dan efisiensi anggaran,” ujar Uyun menambahkan.

Dugaan ini kini menjadi sorotan publik dan dinilai layak untuk ditindaklanjuti oleh Aparat Penegak Hukum (APH) — termasuk Kejaksaan, Kepolisian, dan BPKP — guna melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek senilai Rp15 miliar tersebut. Seluruh pihak yang terlibat, mulai dari kontraktor pelaksana, konsultan pengawas, hingga PPK dan pejabat dinas terkait, harus diperiksa untuk memastikan tidak adanya mark-up anggaran, penyalahgunaan wewenang, maupun pembiaran terhadap mutu pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi.

Agung Sulistio dalam keterangannya menyampaikan dengan tegas bahwa pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap dugaan penyimpangan ini. “Negara tidak boleh dirugikan oleh permainan proyek. Jika ditemukan unsur korupsi atau kelalaian fatal, maka harus ada tindakan hukum tegas tanpa pandang bulu. APH jangan diam — rakyat berhak tahu kemana uang negara mengalir,” ujarnya dengan nada tajam.

Ia menambahkan, proyek yang dibiayai oleh uang rakyat harus menjadi simbol pembangunan yang bersih dan berintegritas, bukan menjadi ladang bancakan bagi oknum yang menyalahgunakan jabatan dan kewenangan. Jika dugaan penyimpangan ini terbukti, maka proyek Kampung Nelayan Merah Putih di Cirebon bukan hanya gagal secara teknis, tetapi juga menjadi bukti nyata bobroknya sistem pengawasan dan lemahnya integritas aparatur pelaksana proyek pemerintah.

(Red)

“Perampokan Sumber Alam oleh Oknum Pejabat: Rakyat Terpuruk, Negara Diam” Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya alam kembali menyeruak di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di berbagai daerah, tambang ilegal, kebocoran hasil bumi, serta penguasaan lahan hutan oleh korporasi terus meningkat—dan di balik semuanya, bayangan oknum pejabat negara kerap terlihat. Investigasi sejumlah aktivis lingkungan dan jurnalis independen mengungkap pola sistematis: pemberian izin tambang yang penuh kejanggalan, proyek infrastruktur yang mengorbankan warga, serta kebijakan daerah yang disetir oleh kepentingan investor. Di balik meja rapat dan tanda tangan pejabat, miliaran rupiah kekayaan alam berpindah tangan—sementara rakyat di wilayah terdampak hanya mewarisi lumpur, polusi, dan kemiskinan. “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pejabat atau korporasi rakus,” tegas [Nama Narasumber], aktivis lingkungan dari [Nama Lembaga]. Di Kalimantan, Papua, hingga Sulawesi, jejak perampasan sumber daya alam meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Warga kehilangan lahan, air bersih, serta akses terhadap hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, sebagian proyek yang diklaim “pembangunan” justru melanggengkan penderitaan. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul ke atas, dan kedekatan antara pejabat dengan pemodal membuat praktik ini seolah mendapat restu. Di banyak kasus, aparat justru melindungi kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Laporan terbaru beberapa lembaga independen menunjukkan, nilai kerugian negara akibat kebocoran hasil sumber daya alam mencapai triliunan rupiah per tahun. Namun yang lebih tragis, adalah kerugian sosial dan moral: hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara yang seharusnya melindungi mereka. Rakyat menunggu langkah nyata: audit menyeluruh atas izin tambang, penuntasan kasus korupsi sumber daya alam, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Bila tidak, maka sejarah akan mencatat — bahwa negeri yang kaya ini dirampok dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Berita

Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya…