BeritaLintas DaerahLintas ProvinsiNews

Jakarta – BP2 TIPIKOR Desak Pemerintah Batalkan Tender PSEL Di 7 Kota Dengan Investasi 3,2 T

13
×

Jakarta – BP2 TIPIKOR Desak Pemerintah Batalkan Tender PSEL Di 7 Kota Dengan Investasi 3,2 T

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com – Jakarta – Tender awal proyek pengolahan sampah nasional yang akan digelar serentak di tujuh kota mulai 6 November 2025. Langkah ini menjadi bagian dari program percepatan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah berbasis teknologi modern yang disebut PSEL (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).

Pejabat pelaksana program, Stefanus, menjelaskan bahwa perusahaan yang lolos dalam Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) diwajibkan menggandeng mitra lokal dan membentuk konsorsium. Skema kerja sama ini diharapkan memperkuat sinergi antara sektor swasta, BUMN, dan BUMD di daerah.

“Dari total 24 DPT yang sudah ada, kami minta untuk berpartner membentuk konsorsium dengan pemain lokal, swasta, atau BUMN/BUMD. Nantinya mereka akan melakukan pertemuan di masing-masing dari tujuh kota itu. Kalau ingin ikut semua tendernya, silakan,” ujar Stefanus dengan tegas.

Setiap proyek diproyeksikan menelan investasi antara Rp2,3 hingga Rp3,2 triliun, bergantung pada lokasi, kapasitas, dan teknologi yang diterapkan. Kapasitas minimal yang ditetapkan pemerintah untuk setiap fasilitas pengolahan sampah adalah 1.000 ton per hari.

Lebih lanjut, Stefanus menegaskan bahwa kesiapan setiap daerah akan dievaluasi sesuai Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025, mencakup aspek teknis, lingkungan, dan kesiapan lahan agar pelaksanaan proyek berjalan efektif dan transparan.

Langkah ini menandai keseriusan pemerintah mempercepat transformasi pengelolaan sampah nasional berbasis energi. Namun, di tengah optimisme tersebut, kritik keras datang dari Wahli, masyarakat dan lembaga pemantau korupsi nasional.

Ketua Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 TIPIKOR), Agustinus Petrus Gultom, secara tegas mendesak pemerintah untuk menghentikan program PSEL nasional. Menurutnya, proyek tersebut tidak efisien, berpotensi memboroskan keuangan negara, bahkan membuka celah penyimpangan pada nilai investasi.

“PSEL adalah teknologi paling mahal, padahal listrik kita sedang surplus. Untuk apa lagi memproduksi listrik dari sampah dengan biaya raksasa? Negara bisa rugi besar dan kemungkinan bisa kedepan membebankan APBD pemerintah daerah,” tegas Agustinus kepada wartawan, Kamis 7/11/2015.

Menurutnya sedikitnya delapan alasan kuat mengapa program PSEL dinilai tidak layak dilanjutkan, 1. Biaya investasi sangat mahal dan tidak sebanding dengan manfaat. 2. Ada teknologi alternatif yang jauh lebih murah, seperti RDF. 3. Berpotensi terjadi korupsi karena nilai proyek dan investasi yang tidak transparan.

4. Dugaan markup pada komponen investasi di tiap kota. 5. Beberapa daerah sudah menghentikan proyek serupa, termasuk Pemprov DKI Jakarta. 6. Terlalu banyak kepentingan politik dan bisnis di balik proyek ini. 7. Indonesia belum krisis listrik, sehingga proyek energi tambahan tidak mendesak. 8. Pemborosan keuangan negara karena subsidi besar yang tak memberi manfaat ekonomi langsung.

Agustinus menambahkan, pemerintah seharusnya berfokus pada pengembangan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel), sistem pengolahan sampah menjadi bahan bakar padat yang dibutuhkan industri semen dan PLTU, yang sudah terbukti manfaatnya.

“Jakarta kota penghasil sampah terbesar, RDF nya justru menghasilkan revenue. DKI Jakarta sudah sukses menjual hasil RDF ke PT Indocement. Nilai ekonominya tinggi, efisiensinya jelas, dan tidak membebani APBN,” ujarnya.

Sebaliknya, lanjut Agustinus, program PSEL tidak memiliki nilai ekonomi. Pemerintah bahkan disebut menyiapkan subsidi hingga Rp300 triliun untuk 33 Proyek PSEL yang digagas oleh Danantara Group, angka yang dinilainya “tidak masuk akal” dan “layak dilertanyakan atau diaudit secara nasional.”

Lebih lanjut, Agustinus memaparkan, di berbagai daerah seperti Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Malang, Yogyakarta, Makassar, dan Badung, program PSEL tidak dijalankan oleh pemerintah daerah karena dinilai tidak efisien, serta menimbulkan penolakan masyarakat akibat kekhawatiran terhadap dampak kesehatan, pencemaran udara, dan penurunan kualitas lingkungan hidup, paparnya tegas.

BP2 TIPIKOR menilai, dengan karakteristik wilayah Indonesia yang beragam, model RDF lebih realistis, efisien, dan menguntungkan bagi daerah. Sementara PSEL hanya cocok untuk kota megapolitan dengan infrastruktur listrik kuat dan volume sampah sangat tinggi.

Pemerintah kini dihadapkan pada dua pilihan strategis, melanjutkan program PSEL bernilai triliunan rupiah, atau fokus pada model RDF yang lebih ekonomis dan berpotensi menghasilkan pendapatan bagi daerah, yang kini sudah berjalan.

Desakan BP2 TIPIKOR menjadi sinyal keras agar proses tender tidak hanya dipandang sebagai proyek infrastruktur, tetapi juga diperiksa dari sisi efisiensi anggaran, transparansi, dan kepentingan publik, termaksud pengunaan keuangan negara yang tepat sasaran.

Reporter : Redaksi