BeritaLintas DaerahNewsTNI / POLRI

Kihandaru: Pengetahuan Antropologi Manusia Parahyangan yang Terlupakan

215
×

Kihandaru: Pengetahuan Antropologi Manusia Parahyangan yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com – Garut – Kihandaru, seorang antropologer Parahyangan, menyatakan bahwa pengetahuan antropologi manusia Parahyangan telah sengaja dihilangkan oleh bangsa penjajah. Padahal, pengetahuan ini merupakan dasar berbagai pengetahuan manusia.

Menurut Kihandaru, manusia Parahyangan mengaplikasikan Hukum Pamali yang terkait dengan pengetahuan antropologi. Namun, seiring waktu dan perubahan adat, Hukum Pamali dianggap mitos dan tahayul.

“Padahal, Pamali merupakan hukum adat yang jauh sebelum ada hukum lainnya di tanah air Parahyangan ini,” ujar Kihandaru dalam wawancara dengan jurnalis Eksposelensa.

Lebih lanjut, Kihandaru menjelaskan bahwa Pamali merupakan pendidikan etika manusia Parahyangan dalam menyehatkan warganya. Contohnya, seseorang yang buang air kecil tidak boleh sambil berdiri, karena secara logika pun, hal tersebut tidak manusiawi dan dapat mengurangi kinerja ginjal dan prostat.

Kihandaru telah mengupgrade berbagai Hukum Pamali sejak 25 tahun silam, agar dapat dipahami secara logis oleh berbagai generasi warga Parahyangan.

Untuk itu, Kihandaru akan mengadakan Seminar Budaya Pengetahuan Kesehatan Bangsa Parahyangan di Kota Garut. Kihandaru dianggap sebagai aset bangsa, karena pengetahuannya sangat diperlukan warga Jawa Barat, bahkan semua warga dunia.

“Saati ini, kita hanya memahami pengetahuan kesehatan bangsa Barat saja, sementara pengetahuan kesehatan bangsa sendiri nihil, bahkan dianggap hanya mitos,” ujar Kihandaru.

( Adji Saka )

“Perampokan Sumber Alam oleh Oknum Pejabat: Rakyat Terpuruk, Negara Diam” Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya alam kembali menyeruak di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di berbagai daerah, tambang ilegal, kebocoran hasil bumi, serta penguasaan lahan hutan oleh korporasi terus meningkat—dan di balik semuanya, bayangan oknum pejabat negara kerap terlihat. Investigasi sejumlah aktivis lingkungan dan jurnalis independen mengungkap pola sistematis: pemberian izin tambang yang penuh kejanggalan, proyek infrastruktur yang mengorbankan warga, serta kebijakan daerah yang disetir oleh kepentingan investor. Di balik meja rapat dan tanda tangan pejabat, miliaran rupiah kekayaan alam berpindah tangan—sementara rakyat di wilayah terdampak hanya mewarisi lumpur, polusi, dan kemiskinan. “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pejabat atau korporasi rakus,” tegas [Nama Narasumber], aktivis lingkungan dari [Nama Lembaga]. Di Kalimantan, Papua, hingga Sulawesi, jejak perampasan sumber daya alam meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Warga kehilangan lahan, air bersih, serta akses terhadap hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, sebagian proyek yang diklaim “pembangunan” justru melanggengkan penderitaan. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul ke atas, dan kedekatan antara pejabat dengan pemodal membuat praktik ini seolah mendapat restu. Di banyak kasus, aparat justru melindungi kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Laporan terbaru beberapa lembaga independen menunjukkan, nilai kerugian negara akibat kebocoran hasil sumber daya alam mencapai triliunan rupiah per tahun. Namun yang lebih tragis, adalah kerugian sosial dan moral: hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara yang seharusnya melindungi mereka. Rakyat menunggu langkah nyata: audit menyeluruh atas izin tambang, penuntasan kasus korupsi sumber daya alam, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Bila tidak, maka sejarah akan mencatat — bahwa negeri yang kaya ini dirampok dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Berita

Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya…