BeritaNewsTNI / POLRI

Pengedar Obat Keras di Serpong Sebut Oknum Polsek Serpong Kerap Minta “Uang Bensin”

132
×

Pengedar Obat Keras di Serpong Sebut Oknum Polsek Serpong Kerap Minta “Uang Bensin”

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com,Tangerang Selatan – Seorang pria berinisial R, yang mengaku sebagai pekerja di sebuah toko berkedok counter handphone di Jalan Raya Ciater, Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, mengungkap fakta mengejutkan terkait dugaan keterlibatan oknum anggota Polsek Serpong dalam praktik peredaran obat keras daftar G.

Dalam wawancara, R mengungkapkan bahwa selama dua bulan bekerja di toko tersebut, ia berhasil meraup omzet antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hari dari penjualan obat keras seperti Eximer dan Tramadol. Ia menyebut bahwa toko tersebut dimiliki oleh seseorang bernama Fred, dengan seorang koordinator bernama Muklis yang mengatur jalannya operasional bisnis ilegal itu.

Lebih mengejutkan lagi, R mengklaim bahwa oknum anggota Polsek Serpong sering datang ke tempatnya bekerja untuk meminta “uang bensin”.

“Biasanya mereka (oknum anggota Polsek Serpong – red) datang, minta uang bensin, saya kasih 20 ribu, kadang-kadang 30 ribu,” ujar R, pada Senin 17 Maret 2025.

R juga mengungkapkan harga jual obat-obatan tersebut, di mana Eximer dijual seharga Rp 3.000 per 5 butir, sementara Tramadol dijual dengan harga Rp 3.000 per butir.

Ketua Lembaga Satu Bumi Satu Negeri (LSBSN), Ahmad Fahrul Rozi, menegaskan bahwa pihak kepolisian harus segera bertindak tegas dalam jaringan peredaran obat ilegal ini.

“Kami mendesak Kapolres Tangsel untuk segera mengambil langkah tegas. Jangan sampai demi keuntungan pribadi, peredaran obat keras ini terus berlangsung dan merusak generasi muda. Jika benar ada oknum yang bermain, mereka harus segera ditindak,” tegasnya, Kamis (20/3/25).

Untuk proses hukum lebih lanjut, R bersama ratusan butir obat keras yang ia jual telah diamankan oleh Polsek Serpong, Polres Tangerang Selatan. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Polsek Serpong terkait dugaan keterlibatan oknum aparat dalam kasus ini.

LSBSN pun berharap agar kasus ini diusut secara transparan dan tidak ada perlindungan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam peredaran obat keras ilegal tersebut.

“Perampokan Sumber Alam oleh Oknum Pejabat: Rakyat Terpuruk, Negara Diam” Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya alam kembali menyeruak di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di berbagai daerah, tambang ilegal, kebocoran hasil bumi, serta penguasaan lahan hutan oleh korporasi terus meningkat—dan di balik semuanya, bayangan oknum pejabat negara kerap terlihat. Investigasi sejumlah aktivis lingkungan dan jurnalis independen mengungkap pola sistematis: pemberian izin tambang yang penuh kejanggalan, proyek infrastruktur yang mengorbankan warga, serta kebijakan daerah yang disetir oleh kepentingan investor. Di balik meja rapat dan tanda tangan pejabat, miliaran rupiah kekayaan alam berpindah tangan—sementara rakyat di wilayah terdampak hanya mewarisi lumpur, polusi, dan kemiskinan. “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pejabat atau korporasi rakus,” tegas [Nama Narasumber], aktivis lingkungan dari [Nama Lembaga]. Di Kalimantan, Papua, hingga Sulawesi, jejak perampasan sumber daya alam meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Warga kehilangan lahan, air bersih, serta akses terhadap hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, sebagian proyek yang diklaim “pembangunan” justru melanggengkan penderitaan. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul ke atas, dan kedekatan antara pejabat dengan pemodal membuat praktik ini seolah mendapat restu. Di banyak kasus, aparat justru melindungi kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Laporan terbaru beberapa lembaga independen menunjukkan, nilai kerugian negara akibat kebocoran hasil sumber daya alam mencapai triliunan rupiah per tahun. Namun yang lebih tragis, adalah kerugian sosial dan moral: hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara yang seharusnya melindungi mereka. Rakyat menunggu langkah nyata: audit menyeluruh atas izin tambang, penuntasan kasus korupsi sumber daya alam, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Bila tidak, maka sejarah akan mencatat — bahwa negeri yang kaya ini dirampok dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Berita

Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya…