BeritaLintas DaerahNewsTNI / POLRI

Polisi Ini Diduga Peras Bos Prodia Rp 20 Miliar, Wilson Lalengke: “Dia Nabung buat Beli Pangkat Jenderal”

128
×

Polisi Ini Diduga Peras Bos Prodia Rp 20 Miliar, Wilson Lalengke: “Dia Nabung buat Beli Pangkat Jenderal”

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com – Jakarta – Dunia hukum Indonesia kembali tercoreng. AKBP Bintoro, mantan Kasatreskrim Polrestro Jakarta Selatan, diduga memeras keluarga pelaku kejahatan senilai Rp 20 miliar. Informasi ini diperoleh GMOCT (Gabungan Media Online dan Cetak Ternama) dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke. Kasus ini bukan hanya mencoreng institusi Polri, tetapi juga menghancurkan rasa keadilan masyarakat.

Wilson Lalengke, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas tindakan AKBP Bintoro. Ia menyoroti praktik yang diduga sudah membudaya di lingkungan kepolisian, yaitu “menabung” untuk naik pangkat.

“Jika benar peristiwa itu, saya hanya bisa mengelus dada, prihatin tingkat dewa atas kelakuan oknum polisi AKBP Bintoro tersebut. Mungkin dia sedang menabung untuk segera loncat dari AKBP langsung jadi jenderal yang harganya (pangkat jenderal bintang satu – red) memang puluhan miliar rupiah,” sindir Wilson Lalengke, menyoroti kebiasaan jual-beli pangkat di lingkungan Polri.

AKBP Bintoro menjabat sebagai Kasatreskrim Polrestro Jakarta Selatan dari Agustus 2023 hingga Agustus 2024. Ia dijuluki “Perwira Selon” karena diduga gemar mempermainkan perkara hukum dengan praktik “86”. Kasus puncaknya terungkap dari laporan polisi nomor LP/B/1181/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel dan LP/B/1179/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel (April 2024), terkait pembunuhan sadis terhadap dua remaja perempuan, N (16) dan X (17). Tersangka adalah Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartanto, anak dari pemilik jaringan klinik kesehatan Prodia.

Bintoro diduga meminta Rp 20 miliar kepada pelaku dengan janji menghentikan penyidikan dan mengintimidasi keluarga korban untuk mencabut laporan. Namun, Arif dan Bayu melayangkan komplain pada 17 Mei 2024 karena kasus tetap berlanjut meskipun uang telah diserahkan. Mereka juga menuduh Bintoro menggelapkan aset-aset mewah mereka.

Pada 6 Januari 2025, Arif dan Bayu menggugat Bintoro secara perdata, menuntut pengembalian uang Rp 20 miliar dan aset yang disita. Kasus ini menjadi tamparan bagi Polri dan menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen penegakan hukum.

Seorang aktivis perlindungan anak (yang meminta namanya dirahasiakan) menyatakan, “Ini bukan sekadar masalah pemerasan. Ini soal penghancuran kepercayaan publik terhadap Polri.”

Publik menanti langkah tegas Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi Polri dan menindak Bintoro. Warga menyerukan agar koalisi pelindung perempuan dan anak terus mengawal kasus ini.

#No Viral No Justice

Sumber: PPWI

TIM/Red

GMOCT: Gabungan Media Online dan Cetak Ternama

Editor: sri

“Perampokan Sumber Alam oleh Oknum Pejabat: Rakyat Terpuruk, Negara Diam” Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya alam kembali menyeruak di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di berbagai daerah, tambang ilegal, kebocoran hasil bumi, serta penguasaan lahan hutan oleh korporasi terus meningkat—dan di balik semuanya, bayangan oknum pejabat negara kerap terlihat. Investigasi sejumlah aktivis lingkungan dan jurnalis independen mengungkap pola sistematis: pemberian izin tambang yang penuh kejanggalan, proyek infrastruktur yang mengorbankan warga, serta kebijakan daerah yang disetir oleh kepentingan investor. Di balik meja rapat dan tanda tangan pejabat, miliaran rupiah kekayaan alam berpindah tangan—sementara rakyat di wilayah terdampak hanya mewarisi lumpur, polusi, dan kemiskinan. “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pejabat atau korporasi rakus,” tegas [Nama Narasumber], aktivis lingkungan dari [Nama Lembaga]. Di Kalimantan, Papua, hingga Sulawesi, jejak perampasan sumber daya alam meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Warga kehilangan lahan, air bersih, serta akses terhadap hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, sebagian proyek yang diklaim “pembangunan” justru melanggengkan penderitaan. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul ke atas, dan kedekatan antara pejabat dengan pemodal membuat praktik ini seolah mendapat restu. Di banyak kasus, aparat justru melindungi kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Laporan terbaru beberapa lembaga independen menunjukkan, nilai kerugian negara akibat kebocoran hasil sumber daya alam mencapai triliunan rupiah per tahun. Namun yang lebih tragis, adalah kerugian sosial dan moral: hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara yang seharusnya melindungi mereka. Rakyat menunggu langkah nyata: audit menyeluruh atas izin tambang, penuntasan kasus korupsi sumber daya alam, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Bila tidak, maka sejarah akan mencatat — bahwa negeri yang kaya ini dirampok dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Berita

Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya…