BeritaLintas DaerahLintas ProvinsiNewsTNI / POLRI

Warga Graha Ariabima Menuntut Kompensasi Kerusakan Rumah Akibat Pembangunan Tol, TMJ: Itu Kewenangan Setda dan Pemkab Semarang

118
×

Warga Graha Ariabima Menuntut Kompensasi Kerusakan Rumah Akibat Pembangunan Tol, TMJ: Itu Kewenangan Setda dan Pemkab Semarang

Sebarkan artikel ini

Eksposelensa.com – Ungaran, Jawa Tengah – Warga Perumahan Graha Ariabima, Susukan, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, terus memperjuangkan haknya atas kerusakan rumah mereka akibat pengerjaan penguatan tiang jembatan Tol Ungaran-Semarang. Setelah setahun menantikan kompensasi dari PT Trans Marga Jateng (TMJ), warga akhirnya meminta bantuan Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT) untuk menyuarakan aspirasinya.

Pada Senin, 20 Januari 2025, perwakilan warga, Joko Santo dan Erik, bertemu dengan GMOCT. Mereka melaporkan kerugian mencapai ratusan juta rupiah akibat kerusakan rumah mereka. Joko Santo menyatakan kerugiannya mencapai Rp 500 juta, angka yang sama juga disampaikan oleh Erik. Kerusakan yang dialami warga bervariasi, mulai dari ringan hingga parah.

Tim liputan khusus GMOCT, Asep NS (Penajournalis.com) dan Bakara (Jelajahperkara.com), langsung bergerak menindaklanjuti laporan tersebut. Mereka berupaya meminta klarifikasi dari berbagai pihak terkait. Upaya menghubungi Ketua DPRD Kabupaten Semarang, Bondan Marutohening, melalui WhatsApp hanya menghasilkan informasi bahwa beliau telah berupaya mencari solusi, namun terkendala kesibukan. Kunjungan langsung ke kantor DPRD juga menemui kendala karena Ketua DPRD sedang bertugas di luar kantor.

Situasi serupa terjadi saat tim GMOCT mendatangi Kantor Setda Kabupaten Semarang. Ajudan Setda menyampaikan bahwa Setda sedang melakukan rapat koordinasi. Pertemuan dengan pihak TMJ di Banyumanik juga tidak membuahkan hasil. Humas TMJ, Dian Saputra, menyatakan bahwa masalah kompensasi bukan wewenang mereka, melainkan Pemkab Semarang dan Setda.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah keberadaan PT Brantas Abipraya, subkontraktor proyek penguatan tiang jembatan tersebut. Warga melaporkan bahwa Brantas telah memberikan kompensasi Rp 10 juta kepada warga yang mengalami kerusakan ringan, namun hingga kini belum ada solusi bagi mereka yang mengalami kerusakan berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah upaya penyelesaian masalah ini hanya sebatas pencitraan?

GMOCT berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga warga Graha Ariabima mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian yang mereka alami. Mereka akan terus berupaya untuk mendapatkan penjelasan dari PT Brantas Abipraya terkait perbedaan perlakuan kompensasi ini. Perjuangan warga ini menjadi sorotan tajam atas transparansi dan tanggung jawab pihak-pihak terkait dalam proyek pembangunan infrastruktur.

Team/Red (Asep NS/Bakara)

GMOCT: Gabungan Media Online dan Cetak Ternama

Editor: sri

“Perampokan Sumber Alam oleh Oknum Pejabat: Rakyat Terpuruk, Negara Diam” Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya alam kembali menyeruak di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di berbagai daerah, tambang ilegal, kebocoran hasil bumi, serta penguasaan lahan hutan oleh korporasi terus meningkat—dan di balik semuanya, bayangan oknum pejabat negara kerap terlihat. Investigasi sejumlah aktivis lingkungan dan jurnalis independen mengungkap pola sistematis: pemberian izin tambang yang penuh kejanggalan, proyek infrastruktur yang mengorbankan warga, serta kebijakan daerah yang disetir oleh kepentingan investor. Di balik meja rapat dan tanda tangan pejabat, miliaran rupiah kekayaan alam berpindah tangan—sementara rakyat di wilayah terdampak hanya mewarisi lumpur, polusi, dan kemiskinan. “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pejabat atau korporasi rakus,” tegas [Nama Narasumber], aktivis lingkungan dari [Nama Lembaga]. Di Kalimantan, Papua, hingga Sulawesi, jejak perampasan sumber daya alam meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Warga kehilangan lahan, air bersih, serta akses terhadap hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, sebagian proyek yang diklaim “pembangunan” justru melanggengkan penderitaan. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul ke atas, dan kedekatan antara pejabat dengan pemodal membuat praktik ini seolah mendapat restu. Di banyak kasus, aparat justru melindungi kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Laporan terbaru beberapa lembaga independen menunjukkan, nilai kerugian negara akibat kebocoran hasil sumber daya alam mencapai triliunan rupiah per tahun. Namun yang lebih tragis, adalah kerugian sosial dan moral: hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara yang seharusnya melindungi mereka. Rakyat menunggu langkah nyata: audit menyeluruh atas izin tambang, penuntasan kasus korupsi sumber daya alam, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Bila tidak, maka sejarah akan mencatat — bahwa negeri yang kaya ini dirampok dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Berita

Sumedang, 3 – 2025 – Fenomena perampokan sumber daya…